Agresi Ekonomi Raksasa Benua Asia : Printing Money ala China
Oleh : Alexandro Elsika Soge
Benua asia yang merupakan benua terbesar di dunia dihuni oleh satu raksasa ekonomi yaitu China. China memiliki budaya dunia lama, dan menjadi salah satu pasar negara berkembang terpadat di dunia, dengan populasi sebesar 1,395 miliar. China mengambil posisi negara ekonomi terbesar kedua didunia setelah Amerika. Perekonomian ini juga telah menjadi salah satu ekonomi dengan pertumbuhan tercepat di dunia selama enam tahun terakhir, misalnya, tingkat pertumbuhan rata-rata produk domestik bruto China dari 2013-2019 adalah 6,7%[1]
China menghadapi efek “country of origin/liability of origin” Ini akan meningkat terutama untuk perusahaan China karena dampak kesehatan dari Covid-19, dan meningkatnya persepsi negatif dunia terhadap barang dan perusahaan buatan China, yang dapat memengaruhi perdagangan. Meningkatnya perang perdagangan antara AS dan China akan menyebabkan masalah lebih lanjut bagi negara asal efek bagi perusahaan China. Para ahli baru-baru ini mengusulkan bahwa kita sedang melalui proses de-globalisasi , di mana perdagangan dan aliran FDI mencapai puncaknya pada periode 2010-2017 dan telah menurun dalam beberapa tahun terakhir.
Dalam mempertahankan perekonomian dalam negerinya akibat pandemi, Amerika memberikan paket stimulus sebesar $ 2 triliun. Negara-negara Eropa telah mengumumkan pembelanjaan mereka sendiri, dan Jepang menyetujui rencana stimulus ekonomi hampir $ 1 triliun[2]. Hal ini disebut printing money. MMT adalah dasar dilakukannya printing money. MMT atau Modern Monetary Theory merupakan suatu konsep ekonomi yang memandang bahwa pemerintah dengan sistem uang fiat dapat mencetak uang sebanyak-banyaknya sebesar yang diperlukanguna mendorong pertumbuhan ekonomi suatu negara, mendorong sektor UMKM, mendistorsi beban utang pemerintah, serta mendorong perluasan lapangan pekerjaan.[3]China juga melakukan hal yang sama hanya saja dengan cara yang berbeda.
China adalah negara aggressor. Bila disuatu negara terdapat perusahaan BUMN China dalamnya maka negara tersebut sedang di agresi ekonominya. Tujuannya untuk mengambil sumber daya alam negara tersebut. Langkah selanjutnya adalah dibuatnya digital marketplace atau milik lokal yang diambil alih.di negara tersebut. Jaringan distribusi menjadi potongan terakhir sebelum akhirnya pasar negara tersebut dikuasai jaringan produk China. Apabila SDA dan digital marketplace sudah dikuasai maka China mulai akan menyerang ekonomi kelas bawah dengan mendapatkan dolar dari negara yang di agresi. Menyedot habis mata uang internasional atau mata uang multy currency-nya.
Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya China juga menerapkan printing money hanya saja dengan cara yang berbeda. China memberi insentif ke dalam negerinya, yakni setiap mendapat dolar dibayar renminbi 3 kali lipat[4]. Bagaimana cara mainnya? Sebagai contoh; Batik Indonesia harganya Rp.250.000,00 dengan HPP (Harga Pokok Penjualan) Rp.180.000,00. Harga pokok penjualan biasanya tidak beda jauh karena bahan yang digunakan dimana-mana sama. Baju Batik yang dicetak di China dijual di marketplace yang sudah dikuasai tadi dengan harga Rp.150.000,00 bahkan dibawah HPP. Reseller berlomba-lomba membeli produk ini untuk dijual lagi online maupun offline. Pabrik Batik Indonesia bakal kalah bersaing dan akhirnya tutup. Strategi ini membunuh UKM negara yang di agresi. Pengusaha China tadi bagaimana? Mereka mendapat 10 dolar per baju. Secara dagang mereka rugi tapi karena tadi ada stimulus dari negara maka 10 dolar tadi dikali 3 jadinya 30 dolar yang berarti mereka mendapat sekitar Rp.400.000,00. Jadi dolar masuk ke China dan renminbi dicetak dan diberikan ke masyarakat untuk sektor produksi. Dengan printing money China dapat dolar, meningkatkan produksi, mematikan UKM negara koloninya dan bisnis China menggeruk ke wilayah-wilayah lainnya.
Menurut data perekonomian China meningkat cukup pesat pada empat bulan terkhir di 2020. Pertumbuhan perekonomiannya melebihi perkiraan para pengamat. Perekonomian China mampu mengahiri serangan virus korona dengan kondisi tidak hanya baik tapi juga siap untuk berkembang lebih jauh lagi selagi pandemic global masiih berkecamuk di negara lain. Produk domestik bruto China tumbuh 2,3% pada tahun 2020, data menunjukan China satu-satunya ekonomi utama di dunia yang menghindari efek absennya aktifitas ekonomi karena banyak negara berjuang untuk menahan pandemi COVID-19. Diperkirakan China akan tetap menjadi raksasa ekonomi dengan laju pertumbuhan PDB 8,4% tercepat dalam satu dekade terakhir[5]
[1] “Growth rate of real gross domestic product (GDP) in China from 2010 to 2020 with forecasts until 2025”. Diambil dari https://www.statista.com/statistics/263616/gross-domestic-product-gdp-growth-rate-in-china/, diakses pada 24 Maret 2021 [2]“While the World Spends on Coronavirus Bailouts, China Holds Back”. Diambil dari https://www.nytimes.com/2020/04/09/business/economy/coronavirus-china-economy-stimulus.html, diakses pada 31 Maret 2021. [3]“Printing Money Bukan Solusi di Tengah Pandemi”. Diambil dari https://www.kompasiana.com/naningambar/5eeb075e097f360c2f6403f2/printing-money-bukan-solusi-ditengah-pandemi?page=all, diakses pada 31 Maret 2021. [4]”Sekilas tentang situs resmi Kementerian Keuangan telah menyiapkan tiga kupon”. Diambil dari https://cnews.com.tw/174200705a01/, diakses dari 31 Maret 2021. [5]“China's economy picks up speed in fourth quarter, ends 2020 in solid shape after COVID-19 shock”. Diambil dari https://www.reuters.com/article/china-economy-gdp/chinas-economy-picks-up-speed-in-fourth-quarter-ends-2020-in-solid-shape-after-covid-19-shock-idINKBN29N04C, diakses pada 31 Maret 2021.
DAFTAR PUSTAKA
Ambarwati, Naning. (2020). “Printing Money Bukan Solusi di Tengah Pandemi”. Diambil dari https://www.kompasiana.com/naningambar/5eeb075e097f360c2f6403f2/printing-money-bukan-solusi-ditengah-pandemi?page=all, diakses pada 31 Maret 2021.
Bradsher, Keit. (2020). “While the World Spends on Coronavirus Bailouts, China Holds Back”. Diambil dari https://www.nytimes.com/2020/04/09/business/economy/coronavirus-china-economy-stimulus.html, diakses pada 31 Maret 2021.
Crossley, Gabriel., Yao, Kevin. (2020). “China's economy picks up speed in fourth quarter, ends 2020 in solid shape after COVID-19 shock”. Diambil dari https://www.reuters.com/article/china-economy-gdp/chinas-economy-picks-up-speed-in-fourth-quarter-ends-2020-in-solid-shape-after-covid-19-shock-idINKBN29N04C, diakses pada 31 Maret 2021.
Paul, J., Menzies, J., Zutshi, A., & Cai, H. (2020). New and novel business paradigms in and from China and India. European Business Review. Diambil dari https://www.emerald.com/insight/content/doi/10.1108/EBR-09-2020-0224/full/html, diakses pada 24 Maret 2021.
Comments