top of page
Writer's pictureIRON FIRE

TODAY'S PERSPECTIVE

Updated: Apr 6, 2021

GERAKAN MENGURANGI PENGGUNAAN PLASTIK TIDAK AKAN EFEKTIF SELAMA PERUSAHAAN BESAR MASIH MEMPRODUKSI PLASTIK


Oleh : Chika Monika Sitinjak


Limbah sampah plastik adalah salah satu masalah lingkungan yang paling mendesak dan menarik perhatian masyarakat dalam beberapa tahun terakhir. Permasalahan ini semakin gencar diperbincangkan karena kuantitas penggunaannya yang semakin hari semakin besar. Di samping itu, masyarakat dunia belum menemukan cara untuk mengatasinya. Pembuatan plastik dari bahan bakar fosil serta efek sampingnya yang mengeluarkan gas rumah kaca memiliki pengaruh besar terhadap perubahan iklim dan pemanasan global, di mana sebagian besar limbah sampah plastik ini hanya bisa didaur menjadi partikel-partikel kecil dan tidak bisa hilang sepenuhnya dari bumi. Sebagian besar partikel-partikel tersebut terbawa air sungai ke laut yang kemudian mencemari biota laut, sehingga mengancam eksistensi hidup hewan-hewan laut.


Selama 15 tahun terakhir, tercatat sekitar 8 juta ton sampah plastik yang telah dibuang ke laut oleh negara-negara pesisir. Meningkatnya produksi plastik dari tahun 1950 ke tahun 2015, dari 2.3 juta ton menjadi 448 juta ton[1] membuat laut menjadi sasaran tempat pembuangan sampah plastik. Angka produksi plastik yang semakin meroket terjadi karena plastik merupakan produk yang murah, mudah dipakai dan tahan lama, sehingga menjadi pilihan populer bagi perusahan-perusahan yang memproduksi kebutuhan sehari-hari. Seperti kemasan makanan, kemasan kopi, minuman sachet, botol minum, peralatan rumah tangga seperti sampo dan deterjen, bungkus rokok, kantong dan puntung plastik, dan lain sebagainya.


Perusahaan dengan angka produksi limbah plastik terbesar ialah Coca-cola, yang memproduksi sebanyak 13.834 plastik di 51 negara. Perusahaan ini memproduksi sekitar tiga juta ton kemasan plastik dalam setahun atau setara dengan 200.000 botol per menit. Perusahan besar selanjutnya ialah PepsiCo, memproduksi sebanyak 5.155 plastik di 43 negara. Kemudian perusahaan Nestlé yang memproduksi sebanyak 8.633 plastik di 37 negara, lalu Unilever sebanyak 5.558 plastik di 37 negara, Mondelēz International sebanyak 1.171 plastik di 34 negara, P&G sebanyak 3.535 plastik di 29 negara,[2] dan perusahaan-perusahaan besar lainnya.


Keadaan bumi yang semakin memprihatinkan memunculkan aksi-aksi, gerakan dan penyuluhan pengurangan penggunaan plastik dengan harapan dapat membantu mengurangi limbah sampah plastik. Aksi tersebut terlihat dengan dilarangnya penggunaan kantong plastik saat berbelanja, mengganti sedotan plastik dengan sedotan kayu atau aluminium, menggunakan botol minum yang bisa digunakan kembali, kegiatan mendaur ulang sampah plastik dan aksi-aksi ramah lingkungan lainnya. Kegiatan tersebut telah lama dianjurkan oleh pemerintah dan lembaga ramah lingkungan bahkan diwajibkan oleh beberapa tempat perbelanjaan dan negara.

Komisi Ekonomi dan Sosial PBB untuk Asia dan Pasifik (ESCAP) sendiri sudah bekerjasama dengan Pemerintah Jepang pada Mei 2020, yaitu dengan meluncurkan proyek 'Closing the Loop'. Proyek tersebut mendukung implementasi lokal ASEAN Framework of Action on Marine Debris dan G20 Osaka Blue Vision yang memiliki fokus untuk mengatasi pencemaran sampah plastik di sungai dan lautan dan pembangunan berkelanjutan di Asia Tenggara.[3] PBB juga sudah menempatkan biaya ekonomi sekitar US $ 13 miliar per tahun untuk mengatasi masalah sampah plastik dan kerugian finansial industri perikanan. Selain itu, Greenpeace juga mengeluarkan petisi untuk menuntut tujuh CEO produsen plastik terbanyak termasuk Coca-Cola, PepsiCo, Nestlé, Unilever dan Starbucks agar bertanggung jawab atas produk mereka yang masih menggunakan plastik sebagai bahan utama.[4] Akan tetapi, tindakan ini belum mampu mengurangi limbah sampah plastik secara signifikan dikarenakan produksi dan konsumsi plastik yang terus meningkat.


Saat ini, cara tebaik yang mampu mengurangi limbah sampah plastik ialah dengan menggunakan barang berbahan plastik yang dapat digunakan secara berulang. Seperti menggunakan kantong plastik secara berulang, namun kenyataannya hanya dapat digunakan satu atau dua kali karena kualitas kantong plastik yang mudah rusak. Alternatif lain yang dapat digunakan ialah tas belanja khusus namun dengan harga yang jauh lebih mahal. Alternatif tersebut tidak menjadi masalah bagi orang-orang kelas menengah ke atas. Namun, alternatif tersebut bukanlah solusi yang tepat, melihat konsumen produk berbahan plastik merupakan orang-orang kelas menengah ke bawah. Bahkan jika barang alternatif tersebut digunakan oleh setengah populasi kelas menengah ke atas yang berjumlah sekitar 1,9 miliar orang sekalipun, alternatif tersebut masih belum bisa mengimbangi produk plastik yang setiap tahunnya diproduksi sebanyak 300 juta ton. Sedangkan jumlah total plastik yang sudah diproduksi sejak awal 1950 diperkirakan sudah lebih dari 8.3 miliar ton.


Dari total sampah plastik tersebut hanya 9 persen yang pernah didaur ulang, sekitar 12 persen sudah dibakar dan sisanya sebanyak 79 persen masih berada di tempat pembuangan sampah, laut dan lingkungan alam.[5] Bagaimana kita mampu mengimbangi polusi plastik ini jika perusahan-perusahan besar di dunia masih memproduksi 300 juta ton plastik setiap tahun? Ibarat menguras air di lantai tanpa mematikan kerannya, sia-sia.

[1] Parker, Laura. 2019. The worls’s plastic pollution crisis explained. Diambil dari https://www.nationalgeographic.com/environment/article/plastic-pollution diakses pada 20 Maret 2021. [2] Koop, Fermin. 2020. These are the companies that produce the most plastics. Diambil dari https://www.zmescience.com/science/these-are-the-companies-that-produce-the-most-plastic/#:~:text=Seven%20of%20the%20top%20polluters,to%20change%20the%20plastic%20system. Diakses pada 20 Maret 2021. [3] “The UN initiative to reduce plastic pollution from ASEAN cities”. Diambil dari https://www.unescap.org/news/new-un-initiative-reduce-plastic-pollution-asean-cities diakses pada 25 Maret 2021. [4] “Preventing plastic pollution”. Diambil dari https://www.greenpeace.org/usa/oceans/preventing-plastic-pollution/ diakses pada 25 Maret 2021. [5] “Our planet is drowning in plastic pollution - it’s time for change!”. Diambil dari https://www.unep.org/interactive/beat-plastic-pollution/#:~:text=Today%2C%20we%20produce%20about%20300,of%20the%20entire%20human%20population diakses pada 21 Maret 2021.




DAFTAR PUSTAKA


Parker, Laura. (2019). The worls’s plastic pollution crisis explained. Diambil dari https://www.nationalgeographic.com/environment/article/plastic-pollution diakses pada 20 Maret 2021.


Koop, Fermin. (2020). These are the companies that produce the most plastics. Diambil dari https://www.zmescience.com/science/these-are-the-companies-that-produce-the-most-plastic/#:~:text=Seven%20of%20the%20top%20polluters,to%20change%20the%20plastic%20system diakses pada 20 Maret 2021.


United Nation Escap. (2020). The UN initiative to reduce plastic pollution from ASEAN cities. Diambil dari https://www.unescap.org/news/new-un-initiative-reduce-plastic-pollution-asean-cities diakses pada 20 Maret 2021.


Green Peace. (n.d.). Preventing plastic pollution. Diambil dari https://www.greenpeace.org/usa/oceans/preventing-plastic-pollution/ diakses pada 20 Maret 2021.

UN Enviorment Programme. (n.d.). Our planet is drowning in plastic pollution - it’s time for change!. Diambil dari https://www.unep.org/interactive/beat-plastic-pollution/#:~:text=Today%2C%20we%20produce%20about%20300,of%20the%20entire%20human%20population diakses pada 21 Maret 2021.

38 views0 comments

Recent Posts

See All

TODAY'S PERSPECTIVE

Euthanasia Tourism As Assisted Suicide Travel by: Vivi Diah Respatie Euthanasia is complicated thing to be discussed. It is because the...

TODAY'S PERSPECTIVE

Krisis Iklim Tanggung Jawab Siapa? Oleh: Danis Nur Azizah Perubahan iklim adalah proses yang menimbulkan dampak negatif bagi kehidupan di...

TODAY'S PERSPECTIVE

Enam Tahun Setelah Paris Agreement Disepakati, Bagaimana Hasilnya? Oleh: Rafika Wahyu Andani Momentum global perubahan iklim yang...

Comments


bottom of page