top of page
Writer's pictureIRON FIRE

TODAY'S PERSPECTIVE

Updated: Apr 20, 2021

Problematika Konflik Etnis Muslim Melayu di Thailand Selatan

Oleh: Shafa Maulana Dewi Kurniawan

Thailand merupakan salah satu negara di Asia Tenggara yang mayoritas penduduknya beragama Buddha. Akan tetapi, tidak sedikit warga Thailand yang memeluk agama lain, seperti Islam, Kristen, Hindu, Singh, dan Tao. Selain itu, Thailand merupakan negara yang tidak pernah dijajah, namun masih terdapat konflik yang belum terselesaikan, yaitu konflik antara kaum minoritas etnis muslim melayu di Pattani dengan pemerintahan Thailand. Konflik ini telah terjadi sejak awal tahun 1990-an hingga sekarang dan telah merenggut lebih dari 2.400 nyawa dan menimbulkan dampak politik yang besar.


Pattani, salah satu wilayah di Thailand selatan merupakan wilayah Kerajaan Pattani yang memiliki mayoritas penduduk yang beragama Islam. Wilayah ini selalu dilanda krisis politik dan konflik bersenjata. Konflik antara kaum minoritas etnis muslim melayu di Pattani bermula dari perbedaan sosio-kultural dan kebijakan – kebijakan pemerintah Thailand yang dinilai diskriminatif dan tidak memihak mereka. Kebijakan tersebut di antaranya: pertama, Kerajaan Siam mengganti elit tradisional dengan pejabat sipil dari Kerajaan Siam yang dianggap loyal. Kemudian, Kerajaan Pattani dibagi menjadi tiga provinsi yang mengakibatkan otoritas tradisional semakin melemah karena kekuatan Sultan Pattani diperkecil. Kedua, adanya kebijakan utama yaitu kebijakan nasionalisme budaya Thailand yang dilakukan dengan cara asimilasi (pembauran kebudayaan). Kebijakan tersebut berdampak pada kehidupan etnis Muslim Melayu sehingga seluruh kehidupan mereka berada di bawah tekanan Thailand. Sejak puluhan dekade lalu, etnis Muslim Melayu tidak memiliki kebebasan untuk memeluk dan menjalankan agama Islam, mengamalkan budaya, menggunakan bahasa melayu, dan tata cara kehidupan etnis Muslim Melayu lainnya.

Tekanan yang terus menerus terjadi terhadap etnis Muslim Melayu di Pattani membuat mereka berusaha untuk mempertahankan wilayah, agama, budaya, dan seluruh tata cara kehidupannya. Kemudian, Etnis Muslim Melayu memiliki keinginan untuk melakukan gerakan separatis, yaitu memisahkan diri dari Thailand dengan cara melakukan pemberontakan di berbagai wilayah. Mereka menganggap bahwa tindakan tersebut merupakan jihad karena mereka menjalankan kewajiban sebagai umat Islam untuk berjuang mempertahankan agamanya. Pemberontakan dilakukan oleh tiga organisasi besar, yaitu GMIP (Gerakan Mujahidin Islam Pattani), BRN-C (Barisan Revolusi Nasional Coordinate), dan PULO (Pattani United Liberation Organization). Ketiga organisasi tersebut melakukan pemberontakan dengan merusak berbagai infrastruktur pemerintahan, seperti pos polisi, militer, dan sebagainya.


Terdapat tiga peristiwa di Thailand Selatan yang menarik perhatian dunia internasional. Pertama, insiden plon peun atau pencurian senjata di provinsi Narathiwat pada tanggal 4 Januari 2004. Insiden tersebut menimbulkan Pencurian senjata tersebut dilakukan oleh kelompok separatisme dan digunakan untuk melakukan kekerasan di Thailand Selatan. Senjata yang dicuri merupakan senjata milik pemerintah Thailand, yaitu senjata senapan 413 silinder. Kedua, insiden yang terjadi di Krue Sek, masjid tertua di Pattani, Thailand Selatan pada tanggal 28 April 2004. Pada peristiwa tersebut, pemerintah Thailand melakukan kekerasan terhadap masyarakat etnis muslim Melayu Pattani yang membuat mereka pemerintah telah melakukan diskriminasi. Ketiga, insiden tak bai. Tak bai merupakan peristiwa kekerasan yang terjadi di provinsi Narathiwat. Peristiwa tersebut terjadi pada tanggal 25 Oktober 2004 dan bertepatan dengan bulan suci Ramadhan. Muslim melayu Pattani mendatangi kantor polisi Distrik Tak Bai untuk melakukan demonstrasi dan meminta polisi membebaskan enam orang sukarelawan pertahanan kampung karena mereka ditahan oleh pemerintah pusat tanpa ada bukti bahwa mereka bersalah. Insiden tersebut menarik respons Organisasi Kerjasama Islam (OKI). Organisasi tersebut menugaskan tim investigasi untuk terjun langsung ke lokasi kejadian dan menyimpulkan bahwa akar permasalahan kasus tersebut berasal dari ketimpangan ekonomi.


Konflik etnis Muslim Melayu di Thailand Selatan telah membuktikan bahwa norma-norma agama, hukum, politik, ekonomi, dan sosial budaya masih diperjuangkan, dijunjung tinggi, dan dipertahankan hingga saat ini. Namun, mereka melakukan dengan cara yang salah. Gerakan separatis yang dilakukan dengan kekerasan dan serangan yang terus menerus dilakukan oleh etnis Muslim Melayu Pattani di Thailand Selatan dapat mengancam stabilitas negara dan menimbulkan teror bagi masyarakat Thailand lainnya. Oleh karena itu, respons dan sikap pemerintah pusat Thailand yang lebih serius sangat diperlukan untuk menyelesaikan konflik ini.





DAFTAR PUSTAKA


Sani, S. (2019). Analisis Resolusi Konflik di Thailand Selatan: Melalui Pendekatan Teori Collective Identity. (Disertasi Doktoral, Universitas Islam Indonesia).


Melvin, N. (2007). Conflict in Southern Thailand: Islamism, violence and the state in the Patani insurgency. CM Gruppen, Bromma.


Pramudita, G. R., Fasisaka, I., & Resen, P. T. K. (2015). Tindakan Pemerintah Thailand Dalam Merespons Gerakan Etnonasionalisme di Thailand Selatan Tahun 2004-2006. Hasil Penelitian. Kabupaten Badung: Universitas Udayana, tt.

43 views0 comments

Recent Posts

See All

TODAY'S PERSPECTIVE

Euthanasia Tourism As Assisted Suicide Travel by: Vivi Diah Respatie Euthanasia is complicated thing to be discussed. It is because the...

TODAY'S PERSPECTIVE

Krisis Iklim Tanggung Jawab Siapa? Oleh: Danis Nur Azizah Perubahan iklim adalah proses yang menimbulkan dampak negatif bagi kehidupan di...

TODAY'S PERSPECTIVE

Enam Tahun Setelah Paris Agreement Disepakati, Bagaimana Hasilnya? Oleh: Rafika Wahyu Andani Momentum global perubahan iklim yang...

Comments


bottom of page