Warga Suriah: Duka Mengungsi di Negeri Sendiri
Oleh: Righdatul Aisyi
Sembilan tahun sudah sejak perang saudara di Suriah terjadi, dan hingga hari ini konflik masih terus berkecamuk dan semakin rumit dengan terlibatnya negara lain di negara beribu kota Damaskus tersebut. Dilansir dari Republika.com, sebuah bom dalam mobil kembali memporak-porandakan Suriah tepatnya di kota Afrin pada tanggal 21 Juni lalu, dimana sebelumnya pada tanggal 22 April telah terjadi hal yang sama di kota Afrin. Tidak hanya menghancurkan bangunan, bom yang diduga dilancarkan oleh kelompok terror YPG/PKK ini juga menewaskan empat warga sipil termasuk anak-anak.
Pada tanggal 20 Juni kemarin yang diperingati sebagai Hari Pengungsi Sedunia, United Nations High Commission for Refugees (UNHCR) merilis data tahunan Global Trends 2019. Dalam laporan tersebut, sekitar 79,5 juta atau sekitar 1% jiwa di bumi merupakan pengungsi.[1] Jumlah pengungsi ini merupakan jumlah tertinggi dari tahun-tahun sebelumnya. UNHCR dalam laporannya juga merilis negara-negara mana saja yang memiliki jumlah pengungsi tertinggi dan sekitar 13,5 juta jiwa dari total jumlah pengungsi merupakan warga Suriah yang juga merupakan negara dengan jumlah pengungsi tertinggi. Tentu saja hal tersebut dapat terjadi, konflik yang terus menerus terjadi di Suriah memaksa para warganya untuk meninggalkan rumah-rumah mereka dan mencari pengharapan baru di tempat lain.
Dari sekian juta jiwa pengungsi Suriah, 4,8 juta jiwa warga Suriah pergi meninggalkan tanah air mereka, berusaha mencari kehidupan yang lebih layak dan terjamin di negara-negara tetangga seperti Turki dan negara-negara di Eropa. Sisanya lebih memilih untuk menetap di Suriah. Jika begitu, lantas bagaimana cara mereka bertahan hidup di tengah negara konflik?
Di tengah kepungan bom yang memborbardir daratan Suriah, sebagian warga Suriah masih memilih bertahan di negara mereka. Meski demikian, mereka terpaksa tetap harus meninggalkan rumah-rumah mereka yang tidak lagi aman sebab lokasinya yang berada di daerah konflik Suriah dan mengungsi ke apartemen di antara reruntuhan gedung. Salah satunya adalah Yasser Aboud yang dikutip dari Republika. Aboud beserta keluarganya terpaksa meninggalkan rumah mereka di Idlib sebab pasukan Suriah dan sekutunya Rusia sedang gencar melancarkan serangan ke wilayah tersebut. Di sisi lain, di pusat kota Idlib, 90 keluarga memanfaatkan penjara sebagai tempat berlindung dan bernaung[2]. Hal lainnya adalah warga Suriah tidak hanya kehilangan tempat tinggal mereka, mereka pun kehilangan mata pencaharian serta tidak mendapat penghasilan lagi.
Bagi mereka yang sudah tidak memiliki biaya untuk menyewa tempat tinggal akan memilih pergi ke kamp-kamp pengungsian yang telah disediakan. Tetapi, masalah tidak sampai di situ saja, di mana warga Suriah masih harus tetap bertahan melawan ancaman-ancaman buruk lainnya. Seperti musim dingin akhir tahun lalu, mereka harus bertahan hidup di tengah suhu yang sangat ekstrem dengan fasilitas yang sangat tidak memadai. Terlebih saat ini dunia sedang menghadapi pandemi Covid-19 yang tentu saja juga dihadapi oleh warga Suriah. Tidak hanya ancaman bom serta tembakan peluru, ancaman pandemi turut berkontribusi memperparah krisis kehidupan warga di Suriah.
Upaya demi upaya terus dilakukan oleh warga Suriah demi mendapatkan kehidupan yang lebih layak dan aman. Berpindah dari satu tempat menuju tempat lain untuk menghindari bisingan roket dan tembakan peluru yang dapat membunuh mereka kapan saja. Di tengah reruntuhan gedung, juga masih ada beberapa warga Suriah yang membuka toko-toko mereka demi memenuhi kebutuhan hidup mereka. Selain itu, di tengah konflik yang sedang berlangsung ini membuat anak-anak Suriah harus putus sekolah. Namun hal itu tidak menyurutkan semangat mereka untuk terus belajar. Meski harus belajar di bawah tenda yang panas dan fasilitas yang seadanya tidak membuat mereka putus semangat untuk mendapat pendidikan dan memupuk masa depan.
Uluran bantuan internasional pun mengalir dan ikut berkontribusi bagi kehidupan para pengungsi Suriah. Banyak negara-negara salah satunya Indonesia memberikan bantuan kepada warga Suriah dengan membangun posko-posko bantuan dan fasilitas penunjang di daerah terdampak konflik. Namun bukan berarti dengan banyaknya bantuan, isu konflik Suriah berhenti menjadi sorotan internasional. Masyarakat internasional harus tetap bahu-membahu membantu para pengungsi untuk menghidupi kehidupan mereka kembali dengan terus menyoroti konflik Suriah. Dengan segala alasan politik, hegemoni kekuasaan dan kepentingan-kepentingan lainnya, di antara itu pula ada hak-hak warga Suriah yang harus terus diperjuangkan.
[1] UNHCR. 2020. Global Trends Forced Displacement in 2019. Diakses dari https://www.unhcr.org/globaltrends2019/ pada tanggal 22 Juni 2020 [2] Kamran Dikarma, “Bertahan Hidup di Tengah Reruntuhan Idlib Suriah”, diakses dari https://republika.co.id/berita/q7aknl382/bertahan-hidup-di-tengah-reruntuhan-idlib-suriah pada tanggal 23 Juni 2020
Commentaires