top of page
Writer's pictureIRON FIRE

TODAY'S PERSPECTIVE

Nestapa di Tengah Laut: Eksploitasi & Pelanggaran HAM ABK RI

By: Divandya Ogusta


Beberapa pekan lalu media Indonesia digemparkan dengan sebuah rekaman video amatir kegiatan pelarungan Anak Buah Kapal (ABK) WNI ke laut lepas oleh kapal Tiongkok. Video yang menunjukkan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) itu awalnya diangkat oleh salah satu media Korea Selatan, MBC News. Kemudian, berita tersebut mulai tersebar dan menjadi pembicaraan hangat di Indonesia ketika salah satu YouTuber asal Korea Selatan, Jang Hansol, mengangkat topik tersebut di kanal miliknya. Disebutkan bahwa sebelumnya sudah ada dua ABK asal Indonesia yang terlebih dahulu meninggal dan bernasib sama, yaitu dilarung ke laut.


Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Luar Negeri meyakinkan bahwa tindakan pelarungan tersebut sudah atas persetujuan keluarga dan mereka sepakat untuk menerima kompensasi. Dikatakan juga bahwa pelarungan dilakukan lantaran kematian dari ABK tersebut disebabkan oleh penyakit menular yang dikhawatirkan akan berdampak pada ABK lainnya. Kemudian, Kementerian Perhubungan melalui Direktur Perkapalan dan Kepelautan (Ditkapel), Sudiono, menilai bahwa penanganan jasad ABK yang meninggal saat berlayar sudah mengacu pada regulasi yang dimiliki Organisasi Buruh Internasional atau International Labour Organization (ILO).


Pelarungan Jenazah ABK di laut atau burial at sea ini diatur dalam ILO Seafarer’s Service Regulation pada Pasal 30 dengan beberapa syarat yang harus dipenuhi. Salah satu syarat pada pasal tersebut menyatakan bahwa jenazah yang dilarung harus mendapat persetujuan dari keluarga. Namun demikian, tidak lama setelah pihak Kementerian Luar Negeri mengeluarkan statement yang menyebut tindakan pelarungan di laut sudah mendapat izin keluarga, muncul pernyataan bahwa dua dari tiga keluarga ABK yang dilarung tidak mengetahui hal tersebut. Salah satu kakak korban bahkan mengatakan bahwa perusahan tempat sang adik bekerja tidak menceritakan perihal kematian sang adik. Lantas pihak mana yang seharusnya kita percaya? Perlu digarisbawahi bahwa kita juga tidak bisa langsung menjatuhkan tuduhan bahwa pemerintah berbohong. Kementerian Luar Negeri RI pun telah merespon kabar tersebut dan menilai telah terjadi kesalahan pemberitaan di beberapa media atas poin-poin yang disampaikan Kementerian Luar Negeri RI sehingga menimbulkan tafsiran yang keliru.[1] Untuk itu, Kementerian Luar Negeri RI telah kembali memintakan penegasan ke pihak Tiongkok atas penjelasan ini serta meminta bantuan untuk memastikan semua hak ABK dipenuhi.[2]


Munculnya pemberitaan ABK WNI yang dilarung ke laut lepas memicu sorotan baru. Salah seorang narasumber yang juga merupakan kru kapal Tiongkok tersebut menuturkan adanya beberapa perlakuan lain yang berpotensi mencederai hak-hak asasi manusia. Diceritakan bahwa para pekerja di kapal laut berbendera Tiongkok tersebut penuh kesengsaraan. Mereka diperlakukan secara tidak manusiawi, bahkan dapat disebut sebagai ‘perbudakan’ terselubung. Para ABK WNI disebutkan tidak diberi makanan layak, bekerja dalam jangka waktu yang tidak wajar, dan pembayaran gaji yang tidak sesuai kontrak.[3] Seorang ABK WNI dalam wawancaranya mengatakan bahwa dari 30 jam berdiri untuk menangkap ikan, mereka hanya diberi waktu 6 jam untuk istirahat, dimana waktu ini juga digunakan sebagai jam istirahat makan.


Selain itu, dikatakan juga bahwa para ABK WNI ini ‘didiskriminasi’ dalam urusan makan dan minum. Mereka kerap diberi makan ikan yang digunakan sebagai umpan pancing serta meminum sulingan air laut. Lima diantara ABK WNI diatas kapal tersebut telah bekerja kurang lebih 13 bulan dan hanya dibayar sebesar US$ 120 senilai dengan Rp1.700.000,00. Hal ini berarti, dalam satu bulan tenaganya hanya dihargai sekitar Rp100.000,00 saja. Tentu saja ini tidak sebanding dengan keringat dan kerja keras yang mereka berikan untuk kapal tersebut. Terdapat kemungkinan bahwa paspor para pekerja asal Indonesia ini juga disita dan ada uang deposit sebagai jaminan agar mereka tidak bisa kabur.


Sayangnya, perlakuan tidak manusiawi terhadap ABK WNI pada kapal-kapal ikan merupakan sebuah realita pahit yang lumrah terjadi. Pekerja migran sektor kelautan sejak lama rentan menjadi budak modern.[4] Kebanyakan dari mereka adalah lulusan SMA yang kemudian ikut pelatihan kerja sebagai ABK dengan iming-iming gaji besar, tanpa memikirkan risiko yang akan dihadapi. Kasus pelarungan ABK WNI ini memberikan sebuah gambaran bahwa para migran sektor kelautan asal Indonesia masih belum terpenuhi haknya. Di sini pula keseriusan pemerintah dalam memastikan hal tersebut patut dipertanyakan.





[1] Edunews.id, “Soal Jenazah 3 ABK yang Dilarung dari Kapal China, Ini Penjelasan Kemlu RI”, diakses dari https://www.edunews.id/news/nasional/soal-jenazah-3-abk-yang-dilarung-dari-kapal-china-ini-penjelasan-kemlu-ri pada tanggal 28 Mei 2020 [2] Ibid. [3] CNN Indonesia, “Menlu Kutuk Perlakuan Tak Manusiawi ke ABK WNI di Kapal China”, diakses dari https://www.cnnindonesia.com/internasional/20200510161805-113-501813/menlu-kutuk-perlakuan-tak-manusiawi-ke-abk-wni-di-kapal-china pada tanggal 29 Mei 2020 [4] Zakki Amali, "Perbudakan Modern ABK RI di Kapal Cina: Upah Murah & HAM Dilanggar", diakses dari https://tirto.id/fnXo pada tanggal 29 Mei 2020

17 views0 comments

Recent Posts

See All

TODAY'S PERSPECTIVE

Euthanasia Tourism As Assisted Suicide Travel by: Vivi Diah Respatie Euthanasia is complicated thing to be discussed. It is because the...

TODAY'S PERSPECTIVE

Krisis Iklim Tanggung Jawab Siapa? Oleh: Danis Nur Azizah Perubahan iklim adalah proses yang menimbulkan dampak negatif bagi kehidupan di...

TODAY'S PERSPECTIVE

Enam Tahun Setelah Paris Agreement Disepakati, Bagaimana Hasilnya? Oleh: Rafika Wahyu Andani Momentum global perubahan iklim yang...

Comentarios


bottom of page