Korban Bungkam Salah Siapa?
Oleh: Danis Nur Azizah
“We must send a message across the world that there is no disgrace in being a survivor of sexual violence. The shame is on the aggressor.” – Angelina Jolie.
Maraknya kasus kekerasan dan pelecehan seksual yang terungkap belakangan ini melalui akun-akun Twitter membuat korban lain yang mengalami hal serupa berani speak up. Meskipun hanya segelintir, kebanyakan penyintas membeberkan bahwa mereka memilih bungkam karena stigma masyarakat yang terkadang merujuk pada victim blaming, atau menyalahkan korban. Alasan lainnya adalah saat penyintas sudah melapor dan berlanjut ke jalur hukum pembuktian kasus dibebankan pada korban. Korban harus menceritakan ulang kejadian, hal ini membuat kondisi psikologis korban terganggu.
Pengertian pelecehan seksual menurut Winarsunu, pelecehan seksual adalah segala macam bentuk perilaku yang berkonotasi seksual yang dilakukan secara sepihak dan tidak dikehendaki oleh korbannya. Bentuk pelecehan seksual tidak semata-mata terkait meraba, memeluk, atau pun menyetubuhi. Ucapan, tulisan, isyarat, serta simbol yang berkonotasi seksual yang bersifat memaksa, tidak diinginkan korban, dan mengakibatkan penderitaan terhadap korban juga termasuk bentuk pelecehan seksual.
Secara umum, terdapat dua aspek penting dalam pelecehan seksual, yaitu aspek perilaku dan aspek situasional. Aspek perilaku dalam pelecehan seksual berupa rayuan atau godaan seksual yang tidak dikehendaki penerimanya, rayuan ini dapat berbentuk rayuan kasar, halus, terbuka, fisik maupun verbal yang searah. Misalnya ajakan kencan terus menerus walaupun sudah di tolak, ungkapan seksis mengenai pakaian atau tubuh, dan lain sebagainya. Aspek situasional maksudnya pelecehan seksual dapat dilakukan di mana saja dan dengan kondisi tertentu.
Pelecehan seksual tidak hanya dialami oleh perempuan, laki-laki juga berpotensi menjadi korban. Hasil survei pelecehan seksual yang dilakukan oleh Koalisi Ruang Publik Aman (KRPA) pada 2018, dari 62.224 responden, 3 dari 5 perempuan (64%) serta 1 dari 10 (11%) laki-laki pernah mengalami pelecehan di ruang publik. Dalam data juga tercatat respon saksi atas tindakan pelecehan, 14,80% di antara saksi justru menyalahkan korban. Dikutip dari Voi.id perwakilan Koalisi Ruang Publik Aman, Rastra menyampaikan bahwa ketika pelecehan seksual terjadi di ruang publik, maka yang bertanggung jawab membantu mengintervensi dan menghentikan kejadian adalah orang di sekitar atau saksi.
Tercatat hampir 80% korban kekerasan seksual tidak melaporkan kasusnya pada pihak berwajib. Danika Nurkalista, psikolog klinis dewasa dan koordinator layanan psikologis di Yayasan Pulih, saat diwawancarai oleh Asumsi.co mengutarakan terdapat banyak faktor yang membuat korban enggan mengangkat suara, faktor bisa datang dari diri sendiri karena trauma, keluarga, lingkungan—seperti reaksi victim blaming, pemberitaan media yang mengekspos informasi pribadi, dan sebagainya.
Lalu Indonesia sendiri belum memiliki hukum yang sesuai untuk melindungi penyintas dari kekerasan dan pelecehan seksual. Terdapat KUHP yang mengatur mengenai pencabulan (pasal 289-296; 2) penghubungan pencabulan (pasal 286-288). Padahal pada kenyataannya pelecehan seksual tidak hanya perbuatan cabul. Tetapi tidak lantas hukum Indonesia tidak dapat diharapkan, telah diterbitkan Peraturan Mahkamah Agung No. 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perempuan Berhadapan dengan Hukum telah melarang hakim untuk melakukan victim blaming. Jadi dalam sidang hakim tidak diperkenankan bertanya atau memberi pernyataan yang mengarah pada menyalahkan korban.
Penyintas kekerasan dan pelecehan seksual tentunya memiliki hak yang harus dipenuhi. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) mengajak instansi pemerintah, LSM, jurnalis, dan masyarakat untuk memenuhi hak penyintas, seperti: melindungi identitas korban dan keluarga, memberi layanan medis maupun psikologis, memberi bantuan fisik, memberi pendampingan pengacara, memberi hak restitusi, mengupayakan kompensasi dari pelaku, dan masih banyak lagi.
Hak-hak korban tersebut tentu harus dipenuhi sehingga dapat mengurangi trauma psikis yang dialami korban, terlebih lagi hukuman untuk pelaku wajib ditegakkan secara adil. Semestinya kekerasan dan pelecehan seksual harus dianggap lebih serius lagi mulai sekarang. Undang-undang yang mengatur perlu diperjelas sekaligus dipertegas dan seyogyanya memihak para penyintas. Demikian juga mental victim blaming yang tumbuh subur di masyarakat sendiri patut dihilangkan. Masyarakat yang entah sebagai saksi atau bukan mesti bergandengan tangan memberi dukungan moral maupun material sehingga penyintas dapat bangkit dari trauma psikologisnya. Dengan ini diharapkan kekerasan dan pelecehan seksual dapat dihentikan.
Jikalau menjadi korban atau saksi kekerasan atau pelecehan seksual, jangan takut speak up! There is no place for rapist!
Referensi:
Adinda, Permata. “Kenapa Korban Kekerasan Seksual Enggan Melaporkan Kasusnya?” Asumsi.co. 19 Februari, 2020. https://www.asumsi.co/post/kenapa-korban-kekerasan-seksual-enggan-melaporkan-kasusnya (Diakses pada 6 Mei 2020).
Anonim. “Siapa Bilang Pelecehan Seksual Hanya Terjadi pada Perempuan?” Voi.id. 27 Novemmber, 2019. https://voi.id/artikel/baca/446/siapa-bilang-pelecehan-seksual-hanya-terjadi-pada-perempuan (Diakses pada 6 Mei 2020).
Fitriyah, Izzatul. “Laki-laki di Balik Kekerasan dan Pelecehan Seksual: Kami Juga Seorang Korban.” Ksm.ui.ac.id. 14 Maret, 2020. https://ksm.ui.ac.id/laki-laki-di-balik-kekerasan-dan-pelecehan-seksual-kami-juga-seorang-korban/ (Diakses pada 6 Mei 2020).
Kinasih, Sri Endah. “Perlindungan dan Penegakkan HAM terhadap Pelecehan Seksual.” Journal.unair.ac.id. Oktober 2007. http://journal.unair.ac.id/MKP@penegakan-ham-dan-perlindungan-terhadap-korban-pelecehan-seksual-article-2162-media-15-category-8.html (Diakses pada 6 Mei 2020).
Rahmawati, Nur Indah. “Warning!!! Darurat Pelecehan Seksual”. Penulis.ukm.um.ac.id. Februari 2019. http://penulis.ukm.um.ac.id/esai-warning-darurat-pelecehan-seksual/ (Diakses pada 6 Mei 2020).
Supriyadi, Eko. “Hak Korban Kejahatan Seksual Harus Dipenuhi.” Republika.co.id. 23 Juni, 2016. https://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/16/06/23/o96ro1282-hak-korban-kejahatan-seksual-harus-dipenuhi (Diakses pada 6 Mei 2020).
Comments