UU ITE, MENGANCAM KEBEBASAN PENDAPAT?
Oleh: Siti Sarah
Negara menjamin kemerdekaan berpendapat pada setiap warganya seperti yang tercantum dalam UUD 1945, namun dunia terus berkembang, media internet yang terus maju dan semakin canggih menjadikannya salah satu kebudayaan berpolitik. Media telah menjadi lebih dari sekedar sebuah alat komunikasi dan informasi. Secara tidak langsung, ia juga merupakan bagian dari proses politik itu sendiri, mempengaruhi dan tidak hanya mencerminkan, distribusi kekuasaan dalam masyarakat luas. (Lyod, 2004), media terkadang dituduh telah menciptakan sebuah iklim sinisme di kalangan masyarakat, yang membawa meningkatnya kekecewaan masyarakat terhadap politik secara umum, dan menurunnya kepercayaan terhadap pemerintahan dan para politisi[1]. Untuk memberikan perlindungan dalam bermedia sosial dan penggunaan akses internet didunia maya tidak menyimpang serta kebablasan, pemerintah menciptakan UU ITE.
Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik atau yang biasa dikenal dengan sebutan UU ITE merupakan hukum yang mengatur pengguna informasi dan transaksi elektronik yang dilakukan dengan menggunakan media elektronik. Undang-undang ini tentunya diberlakukan untuk setiap orang tanpa memandang suku, ras, agama, etnis, budaya hingga sosial dan ekonomi yang bertujuan untuk menghormati hak-hak cipta milik orang lain, terutama bagi pelaku dunia maya yang menggunakan internet setiap harinya. Undang-undang ini dibentuk dengan tujuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa sebagai bagian dari masyarakat informasi dunia, mengembangkan perdagangan dan perekonomian nasional dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat, meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelayanan publik, membuka kesempatan seluas-luasnya kepada setiap Orang untuk memajukan pemikiran dan kemampuan di bidang penggunaan dan pemanfaatan Teknologi Informasi seoptimal mungkin dan bertanggung jawab, dan memberikan rasa aman, keadilan, dan kepastian hukum bagi pengguna dan penyelenggara Teknologi Informasi. Hanya saja, seiring berjalannya waktu, UU ITE, disalahgunakan oleh oknum pemegang kekuasaan yang mengakibatkan tujuan dari undang-undang ini terus menyimpang dan mengakibatkan banyaknya muncul kasus dan tumpang tindih dalam menegakkan hukum. Sepanjang tahun 2018, terdapat 292 kasus terkait UU ITE diantaranya kasus deflamasi atau pencemaran nama baik, ujaran kebencian, dan pelanggaran kesusilaan. Banyaknya pelaporan yang berkaitan dengan kasus ini menyebabkan munculnya anggapan di tengah masyarakat, bahwa setiap orang tidak lagi memiliki sepenuhnya kebebasan berpendapat terutama dalam mengkritisi fenomenal masyarakat, pemerintah dan politik. Hal ini menyebabkan masyarakat bungkam untuk mengkritik negara, dimana seharusnya masyarakat dapat menyampaikan aspirasinya. Dalam pelaksanaan yang terus menyimpang, tentunya mencederai kebebasan berekspresi warga yang terus merosot. Rakyat terus menerus takut untuk bersuara karena tameng UU ITE yang disalahgunakan.
Kasus Abu Janda dan Dino Patti Jalal, dapat menjadi bukti bahwa UU ITE bermasalah. Abu Janda menyebut Islam sebagai agama yang arogan, seharusnya bisa dijerat UU ITE dan UU penodaan agama. Hanya saja, Kapolri Jendral Listyo sigit menegaskan bahwa upaya penahanan dapat dilakukan jika menimbulkan konflik di tengah masyarakat, jika tidak, penyidik bisa mengedepankan mediasi. "Bila perlu kalau memang tidak berpotensi menimbulkan konflik horizontal tidak perlu ditahan, proses mediasi. Mediasi tak bisa ditahan kecuali memang yang ada potensi konflik horizontal," kata Listyo saat memberikan arahan dalam Rapat Pimpinan (Rapim) TNI-Polri di Mabes Polri, Jakarta[2]. Multitafsir terhadap UU ITE yang timbul saat berhadapan dimata hukum membuat UU ini tentunya perlu direvisi, terutama pada pasal karet yaitu pasal 27 hingga 29 UU ITE yang dinilai mengekang kebebasan berekspresi. Selain itu, UU ITE sangat perlu direvisi sehingga keadilan dalam menegakkan hukum di Indonesia dapat dilaksanakan dan tidak lagi terdapat tumpang tindih atau berat sebelah antara si pemegang kuasa dengan rakyat biasa.
[1] Andew Heywood, Politik, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2014, hlm 796. [2] Galih Pradipta, Kapolri Minta Pengusutan Kasus UU ITE Lebih Utamakan Mediasi, https://www.cnnindonesia.com/nasional/20210216151728-12-606960/kapolri-minta-pengusutan-kasus-uu-ite-lebih-utamakan-mediasi diakses pada tanggal 19 Februari 2021.
DAFTAR PUSTAKA
Heywood, Andew. (2014). Politik (edisi revisi), Pustaka Pelajar: Yogyakarta.
Pradipta, Galih. Kapolri Minta Pengusutan Kasus UU ITE Lebih Utamakan Mediasi. Diambil dari https://www.cnnindonesia.com/nasional/20210216151728-12-606960/kapolri-minta-pengusutan-kasus-uu-ite-lebih-utamakan-mediasi diakses pada tanggal 19 Februari 2021.
Putri Riyanto, Galuh. 9 "Pasal Karet" dalam UU ITE yang Perlu Direvisi Menurut Pengamat. Diambil dari https://tekno.kompas.com/read/2021/02/16/12020197/9-pasal-karet-dalam-uu-ite-yang-perlu-direvisi-menurut-pengamat?page=all diakses pada tanggal 19 Februari 2021.
Ramadhan, Ardito. Rencana Pemerintah Revisi UU ITE yang Disambut Baik DPR. Diambil dari https://nasional.kompas.com/read/2021/02/17/08260731/rencana-pemerintah-revisi-uu-ite-yang-disambut-baik-dpr?page=all diakses pada tanggal 19 Februari 2021.
Comments